![]() |
Hujan rintik membasahi jalan satu hari ini. Dan aku masih di jalan, baru
saja pulang bekerja sambil memacu motorku pelan. Hujan rintik tidak
menghentikan jalanku menuju kosan. “Ujan gak berenti-berenti. Masuk angin deh
nih…” Gerutuku dalam hati. Tujuanku masih cukup jauh, tapi si kuda besi yang ku
tunggangi sudah haus meminta jatah minumnya. Ku pinggirkan motorku ke pom
bensin terdekat sebelum motor kesayanganku ini ngambek dan berhenti di tengah
jalan. Hujan sedikit lebih deras dari sebelumnya saat aku sedang mengisi
bensin, tapi itu tidak menghentikan langkahku untuk bisa sesegera mungkin
sampai rumah. Memang hari ini hari Jumat dan besok aku tidak perlu bangun pagi
untuk ke kantor, tapi cuaca dan pekerjaan yang melelahkan hari ini membuatku
ingin bergegas menyelimuti diri dan tidur sampai siang hari esok. Selesai
membeli bensin, kembali ku pacu motor bebekku yang sudah cukup berumur. Saat
hendak memasuki jalan utama, sebuah dompet di pinggir jalan mencuri
perhatianku. Dompet panjang berwarna hitam dengan keadaan terbuka
memperlihatkan isinya yang cukup banyak tergeletak begitu saja tanpa pemilik.
Langsung saja ku dekati dan ku ambil dompet tersebut. Ku perhatikan
sekitar, tampak sepi tak ada orang yang sedang berjalan, atau orang yang
terlihat sedang bingung mencari sesuatu. Ku lihat isinya, uangnya masih ada dan
kartu-karu seperti ATM dan lainnya cukup banyak. Tanpa pikir panjang, segera ku
ambil tersebut. Ku berniat mencari tempat lain untuk melihat identitas si
pemilik dan berniat mengembalikannya.
Tidak jauh dari situ ada warung kopi yang cukup sepi. Segera saja ku
sambangi warkop tersebut. Pesan kopi segelas, ku pilih tempat dibelakang yang
tidak terlihat orang. Meski aku menemukan dompet tersebut dan berniat
mengembalikannya, tetap saja aku khawatir terlihat seperti orang yang baru saja
mencopet.
Ku buka dompet tersebut, ku cari KTP tanpa memedulikan uang pecahan seratus
ribuan cukup banyak yang ada di dalamnya.
Begitu aku menemukan KTP nya, ku perhatikan dengan seksama wajah dan
identitas si pemilik. Sinta, wajahnya terlihat manis dengan rambut hitam
panjang. Usianya ternyata lebih muda 2 tahun dariku, dan alamatnya tidak jauh
dari tempat ku berada. Aku tahu persis jalan tempat tinggalnya tersebut.
Setelah menyerap informasi yang cukup, aku pun menghabiskan kopi dan membayar
lantas kembali menaiki sepeda motorku. Aku segera menuju rumah si empunya
dompet tersebut untuk mengembalikannya.
“Duh sial banget sih nih cewek, pasti pusing banget keilangan dompet.”
Gumamku dalam hati. Aku pernah mengalami hal serupa seperti ini dan tau seperti
apa pusingnya. Harus mengurus KTP, ATM, belum lagi SIM dan STNK, selain memakan
biaya, juga memakan tenaga dan waktu, bukan hanya perkara uang yang ada di
dalam dompetnya saja.
Tidak sampai 15 menit, aku sudah tiba di jalan yang tertera di KTP. Aku
memang tahu jalannya, namun tidak tahu rumahnya. Alhasil aku harus tetap
mencari rumahnya. Cukup sulit karena daerah tersebut bukan perumahan, sehingga
mencari nomer rumahnya menjadi tidak semudah yang dibayangkan.
Aku pun bertanya dengan pemilik warung rokok di pinggir jalan yang masih
buka.
“Pak, maaf mau tumpang tanya. Tau alamat sama pemiliki KTP ini pak?” Tanyaku
sambil menunjukan KTP.
“Ohhh, ini Neng Sinta, Mas. Itu rumahnya yang itu tuh. Yang pager warna
ijo. Tuh liat gak?” Si pemilik warung menunjukan tangannya ke arah rumah yang
letaknya tidak jauh dari warung tersebut.
Aku pun mengangguk.
“Makasih ya, Pak…” Jawabku.
Ku datangi rumah tersebut. Rumahnya besar sekali, pagar hijaunya yang
tinggi menghalangi pandangan untuk melihat ke dalam rumahnya. Tanpa menunggu
lama karena hujan yang semakin deras, ku tekan saja tombol bell yang ada di
depan dan berharap ada orang di rumah.
Bell ku tekan tiga kali, tidak juga ada jawaban. Aku hampir putus asa dan
berniat menitipkan dompet ke warung tadi, meski khawatir uang yang ada di
dalamnya akan diambil si pemilik warung.
“Yaudahlah, yang penting niatnya sudah baik…” Pikir ku dalam hati.
Baru saja aku menaiki motor ku kembali, tiba-tiba pintu pagar terbuka.
Seorang wanita keluar, dengan pakaian putih ketat, celana pendek berwarna krem
dan sendal jepit sambil memegangi payung. Wajahnya bisa dibilang mirip dengan
cewek ini:
“Cari siapa, Mas?” Tanya wanita tersebut.
“Hmm, Sintanya ada?” Balasku.
“Iya, saya Sinta. Siapa ya? Ada perlu apa, Mas?”
“Oh mbak yang namanya Sinta? Ini mbak, saya tadi nemuin dompet mbak di
deket pom bensin…” Kata ku sambil menyodorkan dompetnya.
Matanya terbelak melihat dompetnya, ia pun langsung histeris. “Ya ampun!
Akhirnyaaaaa! Aduhhh, makasih ya masss…” Teriaknya sambil meraih dompet yang
aku berikan.
Ia pun segera membuka dan memeriksa isi dompetnya.
“Di cek aja dulu, mbak. Ada yang ilang apa enggak.”
Ia menggeleng, “Enggak ada, Mas. Uangnya masih ada semua…” Jawabnya sambil
menutup dompet.
“Mas, masuk dulu yuk. Hujan, Mas….” Tawar Sinta.
“Ah, gak usah mbak. Sudah malam. Saya langsung pulang saja…” Kilahku.
“Hujannya deras, Mas. Baju mas juga basah, lebih baik masuk dulu untuk
mengeringkan badan. Anggap saja untuk rasa terima kasih saya…” Pintanya
memelas.
Setelah ku pikir-pikir, jalan menuju rumahku masih terbilang jauh. Di rumah
pun tidak ada orang tua yang menunggu karena orang tuaku sedang bepergian ke
luar kota. Aku pun berpikir panjang, dan menyetujui tawarannya.
“Oke deh, Mbak, numpang neduh dulu kalau gitu…” Jawabku,
Aku pun memasukan motorku dan mengikuti Sinta masuk ke dalam rumahnya.
Aku terperangah melihat isi rumahnya. Ruang tamunya saja besar sekali
dengan sofa kulit yang terlihat mahal. Aku jadi cukup canggung masuk ke
dalamnya.
“Silakan duduk, Mas. Anggap saja rumah sendiri…” Ujar Sinta memersilahkan
ku duduk.
“Iya, Mbak..” Jawabku sambil duduk di sofa.
“Sebentar ya, Mas…” Sinta berlalu masuk, sepertinya ia ke kamarnya.
Rumahnya cukup besar, ruang tamunya dipenuhi beberapa hiasan antik. Lukisan
pedesaan berukuran cukup besar tergantung di dinding tepat di hadapanku. Di
sudut ruangan terdapat guci berukuran besar, dan hiasan lain yang menambah
suasana mewah rumah tersebut.
“Ini mas minum dulu…” Aku sedikit kaget karena ternyata Sinta sudah
kembali, membawa dua gelas teh hangat dan menyodorkannya kepada ku. “Ini ada
handuk, bisa dipakai untuk mengeringkan badan, Mas. Mau aku pinjamkan baju
ganti?”
“Wah makasih banyak, mbak. Ga usah, ini aja cukup kok.”
Sinta lalu duduk di samping sofa ku. Aku pun meminum teh hangat yang
diberikannya, terasa nikmat menghangatkan tubuhku.
“Makasih banyak ya, Mas sudah ngembaliin dompet. Tadi kayanya jatoh pas aku
abis beli bensin. Aku juga gak ngerti kenapa bisa jatoh gituuu…”
“Iya mbak sama-sama, lebih hati-hati aja…” Jawabku kikuk. “Sepi sekali
rumahnya, sudah pada tidur ya?” Tanyaku untuk memecah kekakuan. Mungkin obrolan
ringan seperti ini bisa membantu.
“Oh, enggak kok. Emang aku tinggal sendiri, Mas. Ini rumah orang tua, tapi
orang tua aku pindah ke Inggris. Jadi ya sendiri deh…” Jelasnya.
“Oh gitu, gak punya saudara emangnya? Adek? Atau kakak gitu?”
“Punya adik satu, tapi kuliah di Inggris juga. Kakak ku sudah nikah dan
tinggal sama suaminya. Jadi ya tinggal aku deh sendiri hehehe.”
Aku hanya menganggukan kepala tanda kalau aku memahami situasinya.
Ku perhatikan Sinta dengan seksama kali ini. Tubuhnya begitu sintal dengan
pakaian ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan sempurna, rambut hitam
panjangnya yang dikuncir, tercium harum bersamaan dengan aroma tubuhnya yang
begitu memikat. Sesekali ku curi pandang, payudaranya tampak kencang dan
menggoda. Pikiranku pun mulai macam-macam.
“Gak takut emang tinggal di rumah segede gini sendirian?” Tanyaku untuk
mengalihkan fokus agar tidak memikirkan yang aneh-aneh.
“Ya takut sih, tapi mau gimana? Itung-itung belajar mandiri aja hehehe…”
“Iya bener, tapi tetep aja kalo cewek sendirian kan lebih beresiko. Kenapa
gak ajak pacarnya aja tinggal disini?” Tanyaku memancing, ingin tahu apakah ia
punya pacar atau tidak.
“Hahaha, maunya sih gitu mas tapi pacarnya aja gak punya…” Jawab Sinta
sambil tertawa. Aku pun hanya ikut tertawa kecil.
Obrolan semakin larut, aku pun tahu bahwa Sinta ini masih kuliah, kampus
yang sama denganku dulu. Bisa dibilang ia juniorku di kampus, tapi sayangnya
tidak pernah ketemu karena berbeda jurusan apalagi sekarang aku pun sudah lulus
dan bekerja.
Sinta juga bercerita sedikit tentang pacarnya dahulu. Bagaimana ia dan
pacarnya menghabiskan waktu di rumah itu berdua. Mereka sudah seperti sepasang
suami istri dulu, tinggal berdua di rumah yang besar. Namun sayang, pacarnya
mata keranjang dan selingkuh dengan teman baik Sinta. Mata Sinta terlihat
sedikit berkaca saat ia menceritakan tentang pacarnya tersebut.
“Ya sudah, paling gak sekarang kan kamu tau kalau pacar kamu memang gak
jodoh sama kamu, dan kamu tau ternyata temen kamu pun gak semuanya bisa
dipercaya…” Nasihatku kepada Sinta mendengar curhatnya.
Ia pun mengangguk pelan. “Mas sendiri, punya pacar gak?”
Aku menggelengkan kepala, “Sama nasib kita..” Jawabku diiringi tawa renyah
Sinta.
“Udah berapa lama, Mas?”
“Hmm…” Sejenak ku menghitung berapa bulan semenjak aku putus dengan pacar
ku sebelumnya, “Udah hampir setahun lah…”
“Wah lumayan juga, udah kering lah ya mas?” Ledek Sinta sambil tertawa.
“Hahaha, kayak kamu enggak aja…” Balas ku.
“Iya sih…” Jawab Sinta, mendadak ia menghilangkan tawanya dan menjadi
serius. “Sudah mau jam 1 mas, hujan belum berhenti. Gimana kalau mas menginap
saja dulu? Itung-itung nemenin aku. Besok kan libur, jadi gak harus ke kantor
kan?” Tanya Sinta.
“Waduh, jangan deh. Gak enak nanti diliat tetangga. Ntar dikira
macem-macem…” Ujarku, menolak halus tawaran Sinta.
“Tenang aja, Mas. Tetangga disini cuek kok. Kalo macem-macem juga kenapa?
Udah gede ini, macem-macemnya enak juga…” Jawab Sinta santai.
Perkataan Sinta sejujurnya membuat pikiran kotorku semakin menjalar tak
karuan. Ingin rasanya menergap badannya, melumat bibir dan menggerayangi
tubuhnya yang menggiurkan tersebut. Tapi ku coba untuk menahannya, menghormati
dirinya sebagai tuan rumah.
“Oke deh kalau gitu, aku numpang tidur di sofa ya…” Pintaku.
“Eh, jangannn. Dingin dong tidur disini, mana enak juga. Ayo di kamar aja.
Sini aku anterin…” Kata Sinta sambil menarik tanganku.
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, aku menurut saja dan mengikuti Sinta
ke kamar yang terletak di bagian belakang rumahnya.
Dibukanya pintu kamar, dan dinyalakan lampunya.
Kamar tersebut cukup besar, bisa dibilang lebih besar dari kamarku di
rumah. Kasurnya king size, cukup untuk tidur 4 orang sepertinya. Lampu kuning
yang temaram, menambah kenyamanan kamar tersebut.
“Nih, tidur disini aja mas…” Ujar Sinta.
Aku pun mengangguk, lalu meletakan tas ku di samping kasur tersebut. Sinta
tampak mengambil sesuatu dari lemari.
“Nah, ini. Ada baju sepertinya muat sama kamu. Pake nih, daripada masuk
angin….” Sinta menyodorkan pakaian.
Aku pun mengambilnya, “Kamar mandinya dimana?”
“Udah, ganti disini aja emang kenapa sih?” Kata Sinta nyeleneh. Mendengar
perkataan Sinta seperti itu, dengan santainya ku buka saja pakaianku di depan
Sinta dan menggantinya dengan pakaian yang ia berikan.
“Ini celananya juga.” Ucap Sinta. Kali ini aku sedikit ragu untuk mengganti
celanaku di hadapannya. Penisku sedang berdiri sedang, tidak terlalu tegang,
tapi pasti terlihat jelas bila ku tanggalkan celanaku dan tersisa celana
dalamnya saja.
“Gak berani ya? Cupu dehhh..” Ledek Sinta.
“Berani kok, kamu yang berani gak liatnya?” Ledek ku balik ke Sinta. Ia
hanya tertawa.
Aku pun nekat, dengan pasti ku buka kancing celana dan reseletingnya. Ku
turunkan celanaku.
Sinta sedikit terbelak melihat cetakan penisku yang menyumbul dibalik
celana dalam. Aku yang mengetahui hal tersebut, sengaja mengulur waktu untuk
memakai celana.
“Kenapa? Udah lama ya gak liat?” Aku kembali meledek Sinta.
Tanpa ku duga, Sinta langsung menghampiri dan menarik turun celana dalamku.
Penisku yang baru setengah berdiri itu langsung digenggamnya dengan kuat.
“Iya, dan ini sekarang jadi punyaku!” Kata Sinta tegas. Ia pun berjongkok
dan memasukan penisku ke dalam mulutnya.
Mendapat perlakuan seperti itu, aku hanya meringis menahan nikmat. Sinta
buas sekali melahap penisku.
Awalnya ia memasukan penisku seluruhnya ke dalam mulut, lalu ia menjilati
batangnya dengan pelan, menghisap kepala penisku, lalu menjilati zakarku dengan
rakusnya. Penisku semakin tegang, kali ini tegang dengan kekuatan penuh.
“Uhhhh, pelan-pelan donggg Sinnn…” Desisku sambil memegangi kepala dan
rambutnya agar tidak menghalangi pemandangan indah yang ku saksikan.
Sinta tidak menjawab, ia semakin asik memasukan penisku ke dalam mulutnya.
Tidak mau tinggal diam, aku pun menarik pakaian Sinta agar terlepas. Sinta
menaikan tangannya untuk memudahkan ku. Tubuhnya begitu putih dan bersih.
Branya yang berwarna biru muda masih tertinggal di badannya, menutupi dua
gundukan payudara indah yang siap kunikmati sesaat lagi.
Aku pun menarik tubuh Sinta agar kembali berdiri. Langsung ku lumat
bibirnya yang cukup tebal tersebut. Lidah kami saling berpagutan, sesekali ia
menggigit bibirku dengan gemas, dan menghisap lidahku dengan kuat.
Lalu aku mendorong tubuh Sinta ke kasur. Ku tarik celananya turun, kini
celana dalam mininya yang berwarna senada dengan branya terlihat jelas. Wanita
cantik yang baru saja ku kenal kurang dari tiga jam, kini sedang berbaring
hampir telanjang di hadapanku, menunggu untuk ku nikmati sampai pagi.
Dengan tidak sabar, aku pun membuka celana dalam Sinta. Kali ini giliranku
menikmati kemaluannya. Bulu bulu tampak tercukur rapih, ku buka kaki Sinta dan
ku dekatkan wajahku ke arah vaginanya.
Tercium aroma sedap khas dari vagina basah yang penuh gairah. Ku usapkan
jariku di bibir vaginanya yang membuat Sinta menggelinjang.
“Aaaaaaaaahhhh, geliiiiii masssssss……” teriak Sinta. Aku tidak
memedulikannya.
Aku pun menjulurkan lidahku dan menjilati klitorisnya yang merekah basah.
Jari telunjuk dan jari tengahku kususupkan masuk ke dalam vaginanya, perlahan
ku keluar masukan jariku untuk menambah kenikmatan Sinta.
“Uuuuuuuuughhhhh, enak massss, enakkkkkk…..”
Semakin Sinta berteriak, semakin liar pula permainan lidahku di vaginanya.
Tangan kiri ku arahkan ke payudaranya, ku remas remas dan ku pilih
putingnya. Ku serang habis vagina dan payudaranya di saat yang bersamaan.
Perasaan nikmat kini menjalar di seluruh tubuh Sinta.
“Uhh uhhh ohhh, massss, terus massss, aku mau keluar masssss….” Erang Sinta
sambil menjambak rambutku kencang. Aku pun menambah frekuensi serangan. Kali
ini kocokan jari di lubang vagina Sinta semakin cepat, jilatanku pun semakin
jadi.
“MAASSSSSS KELUAR AKU MASSSSSS…” teriak Sinta kencang. Benar saja, cairan
putih cair hangat keluar dari dalam vaginanya. Ku hisap dan ku jilat habis tak
bersisa.
Sinta terengah-engah setelah klimaks yang ia dapatkan. Tubuhnya sudah
dipenuhi keringat meski udara masih terasa dingin karena hujan yang semakin
deras di luar.
Aku pun merebahkan tubuhku di samping Sinta. Aku ingin membiarkannya
menikmati sisa-sisa kenikmatan sambil mengumpulkan tenaga.
“Huh huh, aku suka banget gaya permainan kamu masss…” Ujar Sinta, matanya
masih terpejam, mulutnya masih terbuka untuk mencari nafas yang tersengal.
Aku hanya diam tersenyum. Ku peluk tubuh Sinta dari samping, sambil ku
mainkan payudaranya yang cukup besar itu.
“Kamu belum keluar kan, mas?” Tanya Sinta.
“Belum dong, belum diapa apain juga…” Jawabku santai.
Sinta lalu bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju lemari yang ada di
pojok ruangan. Ia buka pintu lemari tersebut dan mencari sesuatu di laci yang
ada di dalamnya.
Tidak lama ia kembali menghampiri. Rupanya ia mencari kondom.
“Kalau mau, kamu harus pake ini. Gimana?” Tanya Sinta sambil menunjukan
kondom yang ia miliki.
Aku mengangguk. Sinta pun membuka kotak kondom berwarna merah tersebut dan
mengeluarkan isinya. Masih ada dua kondom tersisa di dalamnya.
Dengan pasti Sinta memasangkan kondom di penisku yang masih tegang. Aku
hanya berbaring menyaksikan Sinta yang terlihat tidak sabar ingin menghujani
vaginanya dengan serangan dari penisku.
Begitu kondom terpasang, Sinta memosisikan dirinya diatasku. Ia duduk
sambil mengarahkan penisku ke lubang vaginanya.
BLESSSS
Sinta menduduki diriku dengan penisku yang tertanam seluruhnya di dalam
vaginanya. Mulutnya terbuka begitu penisku menghujam ujung vagina. “Ahhhhh…”
Desahnya nikmat.
Perlahan Sinta memaju mundurkan tubuhnya diatasku. Penisku terasa ditarik
begitu Sinta menggerakan pinggulnya. Tubuhnya yang indah bergerak seluruhnya
mengiringi kenikmatan yang ia rasakan.
“Hmmm, hmmmm, uhhhh” Desis Sinta sambil menggigit bibirnya sendiri.
Aku pun meremas payudara Sinta untuk menambah kenikmatan. Begitu tanganku
menyentuh payudaranya, Sinta seakan berubah menjadi binatang yang haus dan
liar. Ia langsung menggoyangkan pinggulnya dengan kencang dan cepat seolah
tidak ingin membiarkan sedikitpun penisku keluar dari dalam vaginanya.
“AAAAAAH MAASSSS AAARGGGHHHHH” Teriak Sinta sambil memainkan rambutnya,
matanya terpejam, wajahnya mendongak ke atas. Rumah Sinta yang besar tentu
membuat kami berdua semakin santai dan leluasa untuk berteriak dan merintih
merasakan nikmat yang sedang kami ciptakan.
“TRUS MASSSSS, NIKMAATTTT MASSSSS. KONTOL KAMU NIKMATTTTTTTT”
Aku pun memegangi pinggul Sinta agar berhenti bergoyang, kali ini aku yang
menggerakan pinggulku naik turun. Sinta semakin menikmati penisku yang sedang
melayani vaginanya.
“MASSSS AKKKUU MAUU KELUARRR LAAAAGIIIII MASSSSSSSSS…..” Sintapun
mencengkram dadaku dengan kuat, tidak lama berselang vaginanya terasa
mengencang, menarik penisku sampai terasa ngilu.
“AAAAARRRRRGGGHHHHH MASSSSSSSSSS….” Sinta mencapai orgasmenya sekali lagi.
Tubuhnya terkulai diatasku seketika itu juga. Ia pun berbisik dengan lemah,
“Terusin sampai kamu keluar, mas…”
Aku pun mencium kening Sinta lalu mendorong tubuhnya. Kali ini aku ada di
atasnya. Ku arahkan penisku lagi dan ku masukan sekali lagi.
Untungnya, kondom yang Sinta berikan sangat tipis sehingga tidak mengurangi
kenikmatan penisku yang dilayani vagina Sinta. Bulir di dalam vaginanya terasa
langsung di penisku seperti aku tidak menggunakan kondom.
Ku genjot vagina Sinta sambil tanganku sesekali meraba payudaranya. Ku
percepat genjotannya agar bisa cepat keluar, karena Sintapun terlihat sudah
cukup lelah. Akhirnya ku rasakan dorongan yang kuat dari dalam penisku yang
memaksa untuk keluar. Tanpa menunggu lama, ku muncratkan air mani yang sudah
begitu lama tertahan di dalam buah zakar ku tersebut. CROT CROT CROOTTTT
“AAAHHHHHHHHHH!!” Teriakku saat kenikmatan menjalar di seluruh tubuhku.
Aku pun merasa lemas bukan kepalang, tubuhku langsung ambruk disamping
Sinta yang sedang kelelahan. Malam itu kami pun tertidur berdua, tanpa busana.
Ku rasakan ada sesuatu yang hangat di penisku. Aku yang masih mengantuk
berusaha untuk membuka mata. Rupanya Sinta sedang menyambut penisku yang
berdiri di pagi hari. Ku lihat jam dinding yang ada di depanku, waktu sudah pukul
9 pagi, dan aku terbangun karena hisapan Sinta di penisku yang terasa sangat
nikmat. Aku pun segar dengan cepat, dan menikmati kegiatan Sinta. Dijilatinya
dengan pelan batang penisku, dan dimainkan sesekali lidahnya di kepala penisku.
Terasa begitu nikmat di pagi hari. Membuatku ingin melakukannya seharian tanpa
henti. Sinta lalu menarik tanganku agar ku bangun.
“Sambil mandi yuk! Biar seger…” Ajak Sinta. Aku menyetujuinya dan lekas
bangun dari tidurku.
Aku berjalan mengikuti Sinta. Ia menuntun penisku agar tetap berdiri.
Sesampainya di kamar mandi, Sinta menyalakan shower dan membasahi dirinya.
“Sini, mass…” Sinta memintaku agar mendekat.
Ia lalu berjongkok dan menghisap kembali penisku. Diremasnya buah zakarku
dengan gemas. Aku tidak merasakan dingin air sama sekali, sebaliknya, yang
kurasakan hanya hangat menyelimuti penisku dari mulut Sinta.
Sinta lalu bangkit, mengambil kondom yang tersisa, memasangkan kondom pada
penisku, dan memunggungi diriku. Tubuhnya dicondongkan ke depan, aku mengerti
maksudnya. Sinta menyandarkan kedua tangannya ke tembok, aku mengarahkan
penisku ke vaginanya dari belakang.
Dengan sekali hentakan, penisku pun kembali menghujam vagina Sinta.
Tanganku meraih payudaranya dan meremas ke duanya sambil pinggulku bergoyang
mengeluar-masukan penisku dari dalam vagina Sinta.
“UHHHHH AAAHHHHH IYA GITU MASSSSS….” Sinta mengerang kencang. Aku semakin
terangsang mendengarnya.
Tangan Sinta menahan tubuhku sebagai tanda untuk aku menghentikan
genjotannya. Lalu ia menggerakan pinggulnya naik turun, sensasi kenikmatan yang
tiada duanya.
Sungguh nikmat vagina Sinta, kenikmatan terus menjalar diseluruh tubuhku
tanpa henti.
Lalu Sinta berteriak, “MASSS AKU KELUAR MASSSSSSSSSSS…..” Dan crot crot!
Sinta orgasme di pagi hari ini. Vaginanya yang mengejang dan menegang membuatku
ingin mengikuti orgasmenya.
“Aku juga nih, sebentar lagiii..” Kata ku sambil menggenjot vagina Sinta.
Sinta lalu menarik penisku, ia kembali berjongkok, melepas kondom yang
sebelumnya terpasang lalu memasukan penisku ke dalam mulutnya. Aku tidak bisa
menahan lagi, ku tumpahkan sperma ku semuanya ke mulut Sinta.
“AAAAAAARRRRGGGGHHHH!” Teriakku. Crot crot crot.
Mulut Sinta dipenuhi sperma ku yang kental dan banyak itu, tanpa menunggu
lama, ia langsung menelannya habis, lalu membersihkan penisku dengan lidahnya.
Kami pun menyelesaikan acara mandi kami, lalu berpakaian dengan rapih.
Setelah sarapan, aku pun pamit pulang, namun Sinta menahanku. Ia masih ingin
bersama ku. Aku tak kuasa dan menuruti permintaan Sinta.
Sejak saat itu, kami berdua resmi berpacaran. Sinta bisa memuaskan hasratku
dengan luar biasa, dan aku bisa meyakinkan Sinta bahwa aku tidak akan
meninggalkannya karena ia memang benar-benar sesuai dengan apa yang aku cari
selama ini. Petualangan cintaku dengan Sinta tidak hanya sampai situ, beberapa
kali aku dengan Sinta melakukan hal gila, seperti Sinta yang memintaku untuk
menggoda temannya yang merebut kekasihnya dulu lalu ia memintaku untuk
menidurinya. Sungguh gila, namun hal itu membuatku semakin menyukainya. Akan
aku share nanti jika memang banyak yang ingin mengenal kehebatan Sinta
memuaskanku.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar